Kemuliaan Dzulhijjah dan Upaya Meraih Kemabruran Haji
27 Agustus, 2025 oleh
Administrator

Hari ini kita berada tepat pada tanggal 3 Dzulhijjah 1446 hijriah. Dzulhijjah adalah bulan terakhir atau menempati urut ke 12 dalam hitungan tahun hijriah. Para ulama menegaskan bahwa berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW, Dzulhijjah merupakan satu di antara empat bulan yang dimuliakan dalam Islam, sebagaimana sabda Nabi:

وإن عدة الشهور عند الله اثنا عشر شهرا ، منها أربعة حرم ، ثلاثة متواليات : ذو القعدة ، وذو الحجة ، والمحرم ، ورجب مضر الذي بين جمادى وشعبان

Para ulama juga menyatakan bahwa sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah memiliki kemuliaan yang sangat istimewa. Anugrah kemuliaan ini ditengarai karena banyak peristiwa penting nan agung terjadi di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, yaitu puncak prosesi manasik haji, wukuf di Arafah, puasa Arafah bagi yang tidak berhaji, Idul Adlha dan ayyamunnahri (ibadah qurban) hingga turunnya Al Qur’an surat Al Maidah ayat ke 3 yang menjelaskan kesempurnaan agama Islam sebagai anugrah keni’matan terbesar bagi umat manusia. Saking besarnya kemuliaan sepuluh hari pertama Dzulhijjah sampai Rasullah SAW menyampaikan:

ما من أيام العمل الصالح فيهن أحب إلى الله من هذه الأيام العشر يعني عشر ذي الحجة ، فقالوا يا رسول الله ولا الجهاد في سبيل الله ؟ فقال : ولا الجهاد في سبيل الله إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك بشيء ( رواه البخاري 969)

“Tidak ada hari dimana amal saleh didalamnya lebih dicintai Allah dibandingkan sepuluh hari ini maksudnya sepuluh Dzulhijjah. ”Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, meskipun Jihad di jalan Allah?” Beliau menjawab, “Meskipun berjihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali sedikitpun.” (HR. Bukhari, 969).

Begitu halnya dengan keagungan puasa ‘Arafah yang dilaksanakan pada taggal 9 Dzulhijjah adalah merupakan puasa sunnah yang paling besar pahalanya, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِي بَعْدَهُ. (رواه مسلم )

“Puasa hari Arafah, aku berharap kepada Allah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim, 1162).

Ma’asyrial muslimin, rahimakumullah.

Kemuliaan bulan Dzulhijjah tentunya tidak terlepas dari prosesi ibadah haji sebagai rukun Islam ke lima yang dilaksankan dalam bulan ini. Nyata dan jelas sekali, bahwa Ibadah haji memiliki kedudukan dan makna yang sangat tinggi dalam Islam. Hujjatul Islam, Imam Al Ghozali dalam karya monumentalnya memaknai haji sebagai puncak ibadah yang mengandung asror (rahasia) ilahiyyah, nilai etik yang mendalam, dan kemuliaan spiritual yang tidak tergantikan oleh amal lain apapun. Ibadah haji bukanlah sekadar perjalanan fisik menuju Tanah Suci, tetapi sebuah proses pengembaraan batin yang menembus dimensi ruhani yang tinggi. Ia adalah panggilan Allah yang ditujukan kepada hati-hati yang ingin kembali suci, kepada jiwa-jiwa yang rindu menanggalkan segala keangkuhan duniawi dan menyatu dalam orbit ketundukan kepada Sang Khalik. Haji adalah ladang pembentukan keadaban dan penghambaan kepada Allah. Ia adalah sarana pembelajaran tentang sikap tawadlu’, peduli, sabar, disiplin, kesetaraan, dan kasih sayang. Pandangan Al Ghozai ini sejalan dengan ajaran Rasulullah SAW, saat bliau ditanya tentang makna daan hakikat kemabruran haji:

سُئِلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قال مَا بِرُّ الْحَجِّ قَالَ ‌إِطْعَامُ ‌الطَّعَامِ ‌وَطِيبُ ‌الكلام

Rasulullah Saw ditanya ‘apa kebaikan haji? lalu dengan tegas bliau menjawab ‘memberi makanan dan memperbaiki perkataan’.

Dalam riwayat lain dikatakan:

قيل: يَا رَسُول الله، مَا بر الْحَج؟ قَالَ: ((‌إطْعَام ‌الطَّعَام، ‌وإفشاء ‌السَّلَام))

Rasulullah Saw ditanya ‘apa kebaikan haji itu? Rasulullah Saw menjawab; “membagikan makanan dan menyebar salam”.

Haji seharusnya tidak berhenti pada ritus, tetapi berlanjut menjadi refleksi dan revolusi akhlak. Jemaah yang memahami esensi ini akan kembali dari tanah suci ke tanah air bukan hanya sebagai orang yang telah menyandang predikat haji, tetapi sebagai agen perubahan yang membawa pulang semangat keadaban dan keteladanan.

Ibadah haji bukanlah paket ritual yang cukup dijalankan secara mekanis; ia adalah arena pendidikan moral dan pembentukan karakter. Oleh karena itu, jamaah haji perlu dibekali bukan hanya dengan buku panduan atau pelatihan teknis, tetapi juga dengan pemahaman mendalam tentang akhlak al-hajj -etika yang mengiringi seluruh rangkaian manasik haji. Mulai dari kesabaran menghadapi antrian yang panjang, ketertiban dalam jadwal dan mobilisasi, hingga kesantunan dalam berinteraksi dengan sesama jemaah dari berbagai bangsa, bahasa, dan budaya. Setiap momen dalam haji adalah ujian kesungguhan hati, tempat latihan bagi jiwa yang sedang menempuh jalan penyucian (tazkiyatun nafs), membuang kerak kesombongan, keakuan, dan keinginan untuk menonjol.

Keberhasilan sebuah penyelenggaraan haji sejatinya tidak hanya diukur dari lancarnya alur pergerakan atau keberhasilan logistik semata. Ukuran yang lebih hakiki adalah sejauh mana jamaah mampu membawa pulang semangat manasik dan keadaban yang telah dilatih di Tanah Suci. Apakah sepulang dari Makkah dan Madinah, para haji menjadi pribadi yang lebih santun dalam berkata, lebih ringan tangan membantu sesama, lebih disiplin dalam ibadah, dan lebih luas rasa syukurnya kepada Allah SWT? Jika tidak, maka keberangkatan itu hanya menyentuh kulit luar saja, belum menembus inti. Di sinilah pentingnya menjadikan haji sebagai investasi moral, bukan sekadar status sosial. Sebab sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali, haji adalah perjalanan menuju Allah, bukan hanya ke Baitullah. Maka setiap langkah, peluh, dan doa selama di Tanah Suci semestinya menjadi pijakan menuju perbaikan akhlak dan peningkatan kualitas hidup dalam berbangsa, bermasyarakat, dan beragama.

Al-Ghazali juga menekankan bahwa ibadah haji membongkar ego dan kesombongan. Dalam thawaf, ia melihat simbol orbit yang menyatukan manusia dalam poros Ilahi, menyingkirkan pusat ego masing-masing. Di Arafah, sebagai muktamar universal dan ladang pengampunan terbesar bagi umat manusia. Maka dari itu, tidak berlebihan jika manasik haji disebut sebagai peradaban ibadah yang membentuk manusia menjadi makhluk yang ta’abbudī (hamba yang tunduk) dan ta’adubī (manusia yang beradab).

Menghidupkan kembali ajaran Al-Ghazali dalam ibadah haji era kini adalah sebuah keniscayaan, terlebih di era ketika modernisasi kerap mereduksi makna spiritual menjadi sekadar rutinitas simbolik. Di tengah kemegahan fasilitas dan kemudahan logistik, justru semakin dibutuhkan kesadaran untuk kembali pada inti terdalam dari ibadah haji: penghambaan yang beradab. Bila setiap jamaah mampu menjadikan haji sebagai lompatan moral dan spiritual, maka niscaya kita tidak hanya akan menyaksikan haji yang tertib secara teknis, tetapi juga haji yang melahirkan peradaban: umat yang lebih santun, masyarakat yang lebih peduli, masyarakat yang lebih berakhlak bahkan bangsa yang lebih sejahtera. Di sinilah letak keutamaan haji yang sesungguhnya—menjadi saksi dari perjalanan menuju Allah, yang penuh hikmah dan makna.

Semoga Allah SWT mencurahkan taufiq dan bimbinganNya kepada seluruh jemaah haji Indonesia dan dunia, baik yang sedang maupun yang telah menunaikannya dalam memaknai dan mengimplementasi maqashid syariah ibadah haji dengan sebaik-baiknya untuk terwujudnya tatanan kehidupan yang beradab, yang maslahat dan damai dalam Rahmat dan maghfirahNya.

Dr. H. Khoirul Huda Basyir, Lc. M.Si (Pegawai Kemenag, Pengasuh Pesantren Al Kawkab)


di dalam Pers Rilis