Om Awighnam Astu Namo Siddham
Om Sidirastu Tat Astu Ya Namah Svaha Om
Om Swastyastu
Om anobadrah kratavu yantu visvatah
Semoga pikiran baik datang dari segala arah.
Seluruh umat sedharma yang berbahagia. Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena atas karunia-Nya kita masih diberi kekuatan dan kesehatan lahir batin untuk berkumpul dalam suasana dharma yang mulia ini.
Umat sedharma yang saya cintai. Dalam kehidupan umat Hindu, kita mengenal suatu konsep kearifan lokal yang luhur, yaitu Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan keharmonisan hidup, yaitu: 1) Parahyangan – hubungan harmonis manusia dengan Tuhan; 2) Pawongan – hubungan harmonis manusia dengan sesama, dan 3) Palemahan – hubungan harmonis manusia dengan alam semesta.
Ketiga elemen ini tidak dapat dipisahkan. Bila salah satu rusak, maka keseimbangan hidup akan terganggu. Dalam Bhagavad Gita (III.10), disebutkan: "Dengan yajña, engkau akan memelihara para dewa, dan para dewa akan memeliharamu kembali."
Pertanyaannya: Apakah kita sudah menjaga ketiga hubungan ini dalam kehidupan sehari-hari? Apakah kita hanya berdoa di pura, tapi lupa menjaga tetangga dan merusak lingkungan?
1. Parahyangan: Harmoni dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Hubungan kita dengan Tuhan tidak cukup dengan berdoa atau menghaturkan banten saja, tetapi juga dengan hidup sesuai dharma-Nya.. Bakti yang sejati bukan hanya dalam ritual, tetapi juga dalam sikap penuh syukur dan rendah hati.
Implementasi: Rutin melakukan sembahyang (puja) di rumah maupun pura sesuai hari suci agama, mengucapkan syukur atas segala keadaan, baik suka maupun duka, menjaga kesucian tempat ibadah dan turut dalam kegiatan keagamaan bersama, menjalankan hidup sesuai dengan ajaran dharma dan etika Hindu.
Contoh perilaku: seorang siswa menyempatkan sembahyang pagi meskipun harus berangkat sekolah pagi-pagi, seorang kepala keluarga ikut ngayah di pura tanpa mengharapkan imbalan.
Motivasi: "Jangan hanya datang ke pura saat susah, tapi lupakan Tuhan saat senang."
Apakah kita masih mengingat Tuhan dalam kesibukan duniawi? Sudahkah kita bersyukur atas udara, tubuh, dan hidup yang diberikan setiap hari?
2. Pawongan: Harmoni dengan Sesama
Dalam masyarakat, kita sering dihadapkan pada perbedaan dan konflik. Di sinilah kita dituntut untuk menumbuhkan toleransi, tenggang rasa, dan kasih sayang.
Implementasi: menjaga sikap hormat kepada orang tua, guru, dan sesama umat, menghargai perbedaan suku, agama, ras, dan status sosial, aktif dalam kegiatan sosial, seperti gotong royong, membantu tetangga yang sakit, atau kegiatan sosial lainnya, bersikap jujur, ramah, dan tidak menyebarkan kebencian.
Contoh perilaku: seorang pemuda membantu warga lanjut usia menyebrang jalan atau membersihkan halaman pura tanpa diminta, seorang siswa menghibur temannya yang sedang bersedih, tanpa mengejek atau mengucilkan.
Dalam kisah Ramayana, diceritakan bahwa Rama dihormati bukan hanya karena ia seorang raja, tapi karena ia adil dan peduli pada rakyatnya. Ketika Sita diculik, Rama tidak hanya menolong istrinya, tetapi juga menolong Sugriwa dan rakyat Kiskenda dari penindasan raja Bali.
"Rama menunjukkan bahwa dharma sejati bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk melindungi dan membahagiakan sesama."
Apakah kita sudah adil dalam memperlakukan orang lain, atau hanya mementingkan kelompok kita? Apakah kita peduli pada penderitaan orang di sekitar kita?
3. Palemahan: Harmoni dengan Alam Semesta
Manusia adalah bagian dari alam, bukan penguasa alam. Merusak alam berarti merusak kehidupan kita sendiri. Konsep Bhuta Yajña mengajarkan bahwa kita harus menjaga dan menyeimbangkan energi alam agar tetap harmonis.
Sayangnya, hari ini banyak yang membuang sampah sembarangan, membakar hutan, mencemari air. Kita lupa bahwa tanah dan air pun adalah manifestasi dari Tuhan.
Kata motivasi: "Jangan wariskan anak cucumu harta, tapi wariskan mereka bumi yang layak dihuni."
Sudahkah kita bijak menggunakan plastik? Apakah kita menanam pohon atau justru menebang tanpa izin?
Umat sedharma yang saya hormati. Tri Hita Karana adalah warisan spiritual dan kearifan lokal yang sangat relevan untuk menciptakan kehidupan yang damai, bahagia, dan berkelanjutan.
Mari kita renungkan: apakah kita sudah menjalankan Tri Hita Karana dalam keluarga kita? Apakah pura kita hanya bersih di dalam, tapi lingkungannya kotor di luar?
Mulailah dari diri sendiri: jalin hubungan yang khusyuk dengan Tuhan, perlakukan sesama dengan kasih, dan rawat alam seperti kita merawat rumah kita sendiri.
Tri Hita Karana bukan hanya konsep, tetapi pola hidup yang membawa kedamaian pribadi dan sosial. Jika semua orang menerapkannya, maka kehidupan akan menjadi lebih seimbang, harmonis, dan penuh kebajikan.
1. "Harmoni bukan dicapai dengan kekuatan, tapi dengan kesadaran untuk hidup selaras dengan Tuhan, sesama, dan alam."
2. "Bukan karena kita hidup yang membuat kita bahagia, tapi karena kita hidup dalam keseimbangan."
Akhir kata, semoga naskah ini menjadi pengingat bagi kita semua untuk menjaga harmoni dalam kehidupan, sebagaimana diajarkan oleh leluhur kita.
Om Santih, Santih, Santih Om. Semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai selama-lamanya.
Rta Wahyu Sri Pamungkas, S.Pd. (Penyuluh Agama Hindu Kementerian Agama Kabupaten Boyolali)